Kamis, 09 Juli 2015

Frequencies
OXV: The Manual
Directed and written by: Darren Paul Fisher
Stars:  Daniel Fraser, Eleanor Wyld, Owen Pugh, Dylan Llewellyn, Georgina MinterBrown, Tom England.
tt24147660
The idea of predicting the future of a child based on testing their frequency which shows how lucky they will be is a futuristic element to the archaic innate need for romance. Marie’s (Eleanor Wylde) frequency is superbly high making her more lucky and more perfect almost like a robot her intelligence rules over her emotions whereas Zak is the polar opposite therefore it is dangerous for Zak to be near hear because like opposing magnets they cause the universe to react to show them they should not be together.
At school they are given scientific names Marie is known as Marie-Curie while Zak is known as Isaac Newton then Theo is Nikola Tesla because he figures the true meaning of the Nikola Tesla quote they were taught at school.That quote is “knowledge determines destiny”, which is a major life lesson to anyone really.Thisdoes not stop Zak (Daniel Fraser) from achieving his dreams of turning his luck around and going against nature he strives to find a solution with the help of his friend Theo.
Theo’s short disappearance when Zak wanted Theo to get approval and give credit of the patented frequency invention. Then Theo arguing with his father about music versus science is a vague issue and probably is a huge discussion about more because him seeming like he is going far away and will not see his dad for a while adds to the mystery and mystique of this movie.
This British gem of a movie is excellent, elegant and eloquent. A scientific yet philosophical romance movie shown in terms of an experiment which is an intelligent take on how real life is like particularly romance. It represents how romance and sex has become desensitized and sometimes love hits like a brick and the pain is unbearable. It is just an emotional roller coaster as true love tends to be. This movie is similar to ‘Just My Luck’. But Frequencies or otherwise known as OXV: The Manual is more sentimental, sensual and sophisticated.
The length and depth the characters go to for love despite their friends and family telling them otherwise is really romantic. Then Marie questions how he is safe when he is with her so she finds out that he can control nature through his phone showing words that stabilize nature for him to say. Yet Marie finds out that Zak can control frequency to the point of convincing people to do anything . That frightens her on the truth of their relationship.
As we worry about relationship but cannot pin point anything to blame or truly question internally or externally. She wonders if he convinced her through raising his frequency levels and enforcing his power over her makes her feel used even when he assures her that is not the case. Only to find that Beethoven’s music stabilizes everyone’s frequency to a neutral level that makes no one have a higher frequency than another therefore no one could control anyone. When she finds her feelings for him are still the same it is happy ending indeed.

Grade:
B-

Jumat, 03 Juli 2015

JIM MORRISON… The world is never end to bear superstars until everyone holds materialism in their hands!

Eddie Vedder, lead singer of the band Pearl Jam, Layne Staley, the late vocalist of Alice in Chains, Scott Weiland, the vocalist of Stone Temple Pilots and Velvet Revolver, Julian Casablancas of The Strokes, James LaBrie of Dream Theater, as well as Scott Stapp of Creed, have all claimed Morrison to be their biggest influence and inspiration. (WIKIPEDIA)


Entah suatu kebetulan atau tidak, tadi malam sekitar pukul 09.00 setelah saya pulang dari aktivitas kampus, mendadak saya ingin merapikan rak buku, harta karunku yang berharga (lebay). Ku pilah satu persatu benda yang penuh dengan kumpulan kertas tebal dan penuh dengan tinta huruf itu, ah tak terasa sudah sebanyak ini saya mengumpulkan mereka. Di antara mereka yang sedang menunggu antrian untuk ku ambil, terlihat satu buku bio mas Jim Morrison yang pernah ku beli tahun lalu. Duh... timbul gejolakku ingin menjamah isi buku itu (lagi) disaat waktu yang tak tepat, disaat saya dalam waktu fokus UTS. Terpecahlah niat dan konsentrasiku yang sudah kutekadkan sejak awal... Mungkin ini pertanda mas Jim ingin saya tulis pertama kalinya di blog ini.

Saya punya sebuah buku tentang Jim Morrison. Buku versi bahasa Indonesia No One here Gets Out Alive. Saat itu, saya berniat mencari versi bahasa inggrisnya tapi apa daya rezeki buku versi berbahasa indonesialah yang di dapat. Tak apa, asalkan saya memilikinya, menjadi milik saya.

Sebenarnya saya memulai menyukai Jim karena The Doors. Dan The Doors karena Ayah tercinta saya. Saya masih ingat lagu yang pertama kali saya dengar dan suka adalah Light My Fire.

Banyak yang saya tahu dari The Doors. Tetapi, satu yang membeku di kepala saya adalah betapa kerennya menjadi Jim Morrison. Sesosok manusia dengan sentuhan art yang ruarr biasa, dengan referensi sastra dan filsafat yang EGB (Edan Gila Bambang). What else? Saya belum nemu orang yang di usia 10 tahun sudah membaca Friedrich Nietzsche selain Jim Morrison. Saya yang membacanya di usia 19 tahun saja harus membaca berulang-ulang sebelum akhirnya paham (paham kalau saya pas-pasan hahaha). Dan di usia 10 tahun saya masih main bersama dengan teman-teman sepermainan.

Selain lagunya yang berjudul Light My Fire, single lainnya dengan judul “petasan” juga mampu meledak di pasaran. Tidaklah aneh kalau akhirnya The Doors pun ikut meledak layaknya mercon dengan jutaan fans fanatiknya yang disebut The Doors Lovers. The Doors memang band yang memiliki jutaan umat seperti Zainudin MZ. Dimana ada Jim Morrison, maka di sana ada Jimist Jimist lain yang menunggunya.

TERBAIK DIANTARA YANG LAINNYA
Jim Morrison dipuja hingga kini walau hanya terkenal beberapa tahun saja semasa hidupnya. Kalau tidak salah, hanya 10 tahun dia mengalami masa jayanya, sebelum akhirnya terbujur kaku di kamar mandi. Banyak orang bingung, ngapain juga mati di kamar mandi? Tapi, saya tidak suka dengan misteri. Lebih baik saya pastikan saja kematiannya karena masuk angin akut (angin duduk). Dia tidak bisa tidur dalam waktu lama, sering tidak pakai baju di setiap konsernya, dan parahnya lagi dia suka tidur di jalan dalam keadaan mabuk. Coba saja pikir, penyakit apa yang pantas membunuhnya kalau bukan masuk angin akut?

Perbedaan yang saya lihat antara Jim Morrison dengan musisi lainnya adalah tingkat intelektualnya yang jauh di atas rata-rata. Saya tahu kalau vokalis Off Spring mendapatkan S3 dari Universitas Tambak Sumur. Atau vocalis Bad Religion yang dinobatkan sebagai musisi terpintar oleh wartawan Rolling Stone dengan rekayasa Darwin sebagai desertasinya. Tetapi, sampai saat ini saya tidak tahu hubungannya antara rekayasa genetika, ilmu biologi, ekonomi, dll. dengan dunia music dan seni. Apakah vokalis Off Spring itu berhasil mengembangkan sperma dengan tingkat genetic seni yang tinggi? Atau mungkin Greg mencatat evolusi perubahan bentuk gigi penggemarnya? Saya pikir tidak ada urusan mereka pintar atau tidak dengan music yang dimainkan (yah kalau dicari-cari hubungannya mungkin ada saja).

Saya mencatat ada tiga musisi yang mendekati kecerdasan Jim Morrison. Pertama adalah John Lennon, kedua Kurt Cobain, dan ketiga Zack Della Rocha. Yup, selain keren, John mampu menggerakan massa untuk menentang kebijakan Amerika walau dia bukan orang Amerika. Dia mampu menciptakan Hymne demonstrasi menentang perang Vietnam. Dia mampu membuat ‘seni instalasi tentang perdamaian’. Dan terakhir, dia mampu menciptakan lagu Imagine sebagai lagu dengan lirik terbaik sepanjang masa (menurut saya).

Kedua, saya menyukai raja grunge, Kurt and the Soneta Co. band. Kurt memiliki talenta untuk menjadi seniman besar di era 90 an. Gambarnya, konsep musiknya, ide-idenya, semuanya merupakan bentuk lain dari terapan pengalaman hidupnya. Apa yang dia rasakan dan apa yang menjadi masalah bagi masyarakat sub urban bisa dituangkannya dalam art dengan sentuhan yang lebih fresh. Dia merepresentasikan dirinya dalam karya seninya. Musik Kurt adalah representasi masyarakat yang sudah muak dengan kegagalan modernism. Dia berhasil mendorong satu genre baru dalam dunia music menjadi sebuah genre yang dicintai jutaan penggemarnya. Genre yang marah dengan gitar distorsi yang menggaruk-garuk telinga. Karena garukan telinga inilah, salah satu band grunge terbesar di Indonesia dahulu bernama Garux Band yang digawangi oleh Rowman (manusia baris) Ungu.

Ketiga, Zack Della Rocha. Hmm… Singkat kata sih, dia musisi yang paham Marx di luar kepalanya. Dia melakukan protes melalui music-musiknya. Menjadi bagian dari Zapatista dan lain-lain lah..

Kayaknya saya lagi males deh menulis mengenai kehebatan musisi lain. Karena niat saya menulis tentang Jim Morrison. Sudah lah ya, begini saja… Buat saya, betapapun hebatnya mereka, tidak ada yang bisa merepresentasikan antara idenya dengan perilakunya sehebat Jim Morrison.
Liat aja Sub Bab di bawah… Capek soalnya membicarakan Zack, dkk.

Jim Morrison
Hampir semua musisi genius menjadi besar karena merepresentasikan jamannya. John Lennon merepresentasikan jaman hippie dan perang Vietnamnya, Kurt merepresentasikan masalah keluarga pada era 90-an, Zack mewakili orang-orang yang memberontak terhadap kapitalis modern, dll. Tetapi, Jim merepresentasikan jaman semenjak Yunani kuno hingga awal dunia modern. Panjang sekali range yang hendak direpresentasikan. Dan dia melakukannya dengan sangat baik!

Jim Morrison besar bukan hanya karena pengalaman hidupnya. Dia besar dengan referensi yang luas dalam satu abad. Bacaannya mantep! Referensinya kuat! Mulai dari mitos Yunani kuno,  Jean Cocteau, hingga catatan tukang pembersih laut diganyemnya. Dia tidak membawa masalah orang tuanya secara sederhana. Tetapi dia membungkusnya dalam berbagai paradigm.

Saya pernah berdebat dengan teman komunitas musik yang menyukai Jim Morrison Saya bertanya, apa kamu tahu Dionysius? Dia menjawab: ngapain tahu itu? Jim Morrison sih ngga ngurus begituan. Saya Tanya lagi, tahu Freud atau Nietzsche? Atau mungkin pernah baca buku-buku mereka? Dia menjawab sama seperti jawaban sebelumnya.

Sebenarnya sayang bila kalian menyukai Jim Morrison tetapi dengan referensi yang kurang. Sebenarnya, Jim Morrison ingin merepresentasikan dirinya sebagai Dionysius yang selalu mencari kesenangan, berburu banyak hal layaknya lelaki tulen yang telah digariskan semenjak jaman Yunani kuno. Dia juga ingin menjadi representasi manusia yang melawan semua aturan modern. Dia tidak butuh deadline. Konser datang telat, tidak mau pakai metronome dalam studio, melawan orang yang melindunginya (polisi), dan semua bentuk vandalisme lainnya.

Ketika John Lennon berbicara kedamaian, itu hanya wacana karena Lennon bukanlah representasi kedamaian itu sendiri. Ketika Zack berbicara Marx, dia bukan representasi dari situasi utopisnya. Bahkan Kurt sendiri bukan representasi dari sesuatu yang dia inginkan. Berbeda dengan Jim Morrison, dia adalah representasi dari art yang dia bayangkan sendiri. Jim memang menjadi Dionysian, dia melawan modernism, dia adalah apa yang dia katakan dan apa yang dia bayangkan. Jim bukanlah wacana seperti lainnya. Musiknya memang representasi murni dari dirinya. Inilah sebabnya dia sangat stress ketika Light My Fire di cover untuk keperluan sebuah iklan.

Jim mempuyai referensi seni yang kuat. Dia berusaha secara totalitas untuk menerapkannya. Ketika Freud berbicara tentang orientasi sexual, seperti Dionysius, Jim merupakan garda depan dari contoh manusia yang mencari sex dengan imej maksimal tanpa kendali :D. Ketika seni direpresentasikan dalam ecstasy, dia mabuk terus untuk mencari kesenangan hingga melebihi ubun-ubunnya. Sewaktu Nietzsche berbicara tentangUbermensch, siapa lagi yang layak direpresentasikan? Tidak ada rocker yang menjadi “center of universe” di tengah konsernya seperti Jim Morrison.

He is My Superfuckinhero
Ketika Green Day menjadi band besar, semua orang mencari kasetnya dan sing along dalam setiap konsernya. Ketika Linking Park live di Senayan, semua orang akan menebak song listnya untuk bernyanyi dan merasakan bagaimana seharusnya dinamika tercipta dalam suatu konser music. Tetapi ketika Jim Morrison naik panggung, penonton tidak akan tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Saya belum pernah menonton konsernya The Doors, tetapi saya hanya akan berharap melihat Jim Morrison walau beberapa detik saja. Karena dalam beberapa menit kedepan, semuanya bisa terjadi. Jim bisa mendadak pingsan, ditawan polisi, lupa pakai celana di panggung atau lari ke belakang panggung untuk bercumbu dengan wanita. Semua serba tidak jelas. Dan tentu saja ini merugikan promotor music yang sudah ingin meraup laba secepatnya.

Siapa yang mau berurusan dengan The Doors berarti telah siap dengan resikonya. Jadwal konser yang tidak beres. Harus menunggu sidang Jim Morrison yang sangat bertele-tele. Atau menghabiskan uang shift studio hanya untuk menunggu Jim Morrison sadar dari mabuknya. Tetapi bagaimanapun, demand tetap ada. Perputaran uang masih tinggi. Penonton masih ingin menyaksikan The Doors walau tidak tahu berapa lama konser akan berlangsung nantinya. Walau The Doors benar-benar menampar wajah dunia bisnis modern, mereka tetap memiliki nilai jual. Mungkin industry music saat itu menyesal telah membesarkan bajingan sekelas Jim Morrison. Seperti membesarkan buaya, setelah besar menggigit kaki majikannya.

Semakin majunya jaman, semakin belajar para kapitalis itu. Mereka pun sadar untuk menciptakan bintang-bintang instan dengan konsep yang sedikit kabur. Alasannya? Karena mereka tidak mau lagi bertemu dengan orang seperti Jim Morrison. "Copot pala barbie (mungkin beginilah kata anak kekinian).” Mereka malas untuk mengikuti sidang kasus Jim dikala penjualan tiket konser The Doors berikutnya telah sold out. Mereka tidak yakin konser di suatu tempat bisa berjalan karena rawannya Jim Morrison ditangkap petugas bea dan cukai ketika membawa banyak LSD dalam tasnya. Promotor music lebih suka bila penonton terhipnotis oleh Selena Gomez yang unyu-unyu dan mudah diatur tetapi menghasilkan uang yang cukup banyak dibandingkan dengan mengurus Jim Morrison. Mereka tidak perduli lagi walau orang seperti Jim Morrison telah menjadi superhero bagi banyak orang dibandingkan Selena Gomez.

Diantara berbagai macam super hero jagoan saya, Jim Morrison adalah salah satunya (setelah pacar impian saya yanf sebelumnya, yaitu baginda Robert Plant). Jim Morrison sudah menginspirasi saya untuk memperkaya referensi. Jim jujur dan yakin untuk memilih apa yang sebenarnya dia suka (man... I’m sick of doubt, Morrison). Dia membuat saya menjadi lebih berani (“Expose yourself to your deepest fear; after that, fear has no power, and the fear of freedom shrinks and vanishes. You are free.”, Morrison) Dan berperilaku sedikit diluar kelaziman untuk membuat orang lain berpikir hingga mereka tidak sadar bahwa kita telah mampu menginspirasinya (I like people who shake other people up and make them feel uncomfortable, Morrison).

Jim Jim Jim… Buat saya dia sosok cerdas dan terkeren yang pernah saya bayangkan. Dia bukan penyanyi, tetapi sebuah ‘mesin pembunuh’ artis pop di jagat hiburan. Jujur sih, sebagai orang yang sedikit mencintai music, saya sangat bangga bila menggunakan kaos bergambar Jim Morrison dibandingkan kaos band lainnya. Karena buat saya, Jim Morrison bukan hanya musisi. Tetapi dia sudah menjadi art dengan brand yang sangat jelas bagi saya.